Dilema Masalah Janin

\r\n

Dilema Masalah Janin(Image courtesy of Craftyjoe / freedigitalphotos.net)

\r\n

\r\nBerita kecacatan janin yang diketahui sejak dini mendatangkan banyak dilema bagi ibu hamil. Alih-alih berharap melihat muka bayinya yang lucu, sejumlah masalah mencuat dan mendatangkan masalah dari sisi medis, sosial, hingga agama. Kasus sensitif tersebut memerlukan pertimbangan lanjutan seiring kemungkinan menghentikan kehamilan tersebut turut membawa risiko tersendiri. Tulisan ini melihat pertimbangan kelanjutan nasib janin hanya dari sudut pandang medis, yang tentunya tidak superior dibandingkan nilai-nilai yang dianut individu, termasuk nilai agama.\r\n\r\nAda sejumlah kecacatan yang dapat dideteksi sejak janin melalui pencitraan ultrasonografi (USG). Bibir sumbing, kelainan katup jantung, down syndrome, hidrosefalus, atau ketidaklengkapan maupun tidak terbentuknya anggota atau organ tubuh tertentu dapat terlihat langsung. Usus yang tidak terlindung dinding perut (gastrochisis) dan kegagalan pembentukan sistem saraf pusat, juga dapat ditemukan dengan peluang kecil. Tentunya kelainan darah atau fungsi dari organ tersebut sulit diketahui jika hanya menggunakan USG sebagai modalitasnya. Secara genetik, kelainan di dalam janin dapat dideteksi pula dengan mengambil contoh cairan ketuban langsung pada saat hamil, tetapi tentunya tindakan tersebut bukanlah tanpa risiko. Oleh karenanya, tindakan tersebut umumnya hanya dilakukan jika ada jumlah cairan ketuban melebihi batas normal (polihidramnion). Pengenalan kecacatan kongenital dapat dideteksi dalam batas waktu tertentu sesuai dengan waktu normal tahap pembentukan masing-masing organ.\r\n\r\nKehamilan yang dilanjutkan pada kebanyakan kasus kelainan janin masih dapat ditangani saat kelahiran. Operasi masih dapat dilakukan secara bertahap sesuai umur dan indikasi pada bibir sumbing, kelainan katup jantung, maupun hidrosefalus. Tindakan sedini mungkin penting mengingat bayi akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan cepat yang melibatkan berbagai sistem organ. Kualitas hidupnya sebagai manusia dewasa kelak dapat menjadi sangat baik dengan mengatasi hambatan tumbuh-kembangnya tersebut sebelum proses berkelanjutan itu terhenti. Pada bibir sumbing, misalnya, perbaikan diperlukan secara bertahap sebelum ia melewati batas waktu perkembangan bicaranya. Demikian juga pada kelainan jantung, hidrosefalus, kembar siam, maupun putusnya hubungan antar bagian saluran di dalam tubuh (usus, saluran nafas, atau saluran kencing), semuanya hal tersebut masih dapat diperbaiki dengan tindakan operasi dan perawatan lanjutan. Ditambah dengan tindak lanjut jangka panjang dengan pemberian latihan atau diet khusus untuk mengejar pematangan struktur dan fungsi organ bersangkutan, anak tersebut dapat menjadi selayaknya anak normal dan penggunaan obat dapat dikendalikan secara bertahap hingga tidak memerlukan obat-obat tambahan.\r\n

Waktu dan Risiko Menggugurkan Janin Cacat

\r\nKemungkinan janin digugurkan menjadi pertimbangan secara medis pada beberapa kasus oleh karena sejumlah alasan. Alasan terpenting dari pengguguran janin dalam indikasi medis merujuk pada kemampuan bayi tersebut bertahan hidup di luar kandungan meski dengan perawatan intensif. Bayi tanpa tempurung kepala dan otak (anensefali) merupakan salah satu masalah yang diperbolehkan untuk diakhiri kelanjutan pertumbuhannyanya. Sejauh yang diketahui penulis, tidak ada pengobatan pasti dari kasus anensefali dan memang di seluruh dunia, sulit untuk mempertahankan hidup bayi dengan masalah tersebut. Dugaan anensefali dapat ditemukan pada akhir trimester I atau trimester II. Jenis kecacatan jantung tertentu yang menyebabkan tidak adanya darah bersih yang dialirkan ke seluruh tubuh juga diprediksi menyebabkan kematian jika tidak segera ditindak. Tidak adanya organ tertentu sama sekali juga dapat saja terjadi dengan kemungkinan kematian janin sesudah dilahirkan sangatlah besar.\r\n\r\nTindakan menggugurkan atau aborsi bukanlah tindakan sederhana mengingat sejumlah situasi medis dapat menjadi masalah lanjutan sesudahnya. Perdarahan adalah salah satu masalah yang paling ditakuti mengingat kedudukanya sebagai penyebab kematian ibu tertinggi saat ini yang wajib diwaspadai dari semua tindakan pada kasus kebidanan. Rahim yang sudah terbuahi menerima banyak aliran darah dan pembuluh darahnya melebar sehingga perdarahan yang timbul perlu segera dihentikan. Tindakan aborsi yang tidak dijalankan oleh praktisi kesehatan juga sangat rentan berlanjut dengan infeksi berat. Infeksi berat tersebut dapat dibayangkan tidak serta-merta menyerupai batuk, pilek, demam yang dengan mudahnya diobati dengan antibiotik minum, tetapi membutuhkan perawatan intensif dengan antibiotik yang diinfuskan. Trauma dari bagian manapun pada jalan lahir menjadikan kerusakan anatomi menjadi potensi menimbulkan masalah lain jika hendak hamil kembali.\r\n

Lebih Baik Jangan Aborsi

\r\nPenulis sendiri menganjurkan untuk tidak dilakukannya aborsi pada janin hidup dengan segala kondisinya selama keselamatan hidup ibu juga masih terjamin jika kehamilan diteruskan. Dari sisi medis, kecacatan janin tidak seluruhnya menjadi indikasi dari sebuah tindakan aborsi. Perkembangan ilmu dan teknologi kedokteran pada saat ini sudah mampu mempertahankan dan memperbaiki banyak kecacatan janin hingga mereka tumbuh dengan kelebihan dalam keterbatasan mereka. Ada pun aborsi yang boleh dilakukan oleh seorang dokter adalah aborsi dengan tujuan terapeutik, dalam artian memang tidak ada pilihan tindakan lain untuk menyelamatkan nyawa ibu atau janin yang masih diprediksi mampu bertahan hidup dengan kondisi fisiknya dalam beberapa tahun ke depan. Hanya kematian janin di dalam rahim yang sudah jelas diperbolehkan untuk dilakukan tindakan aborsi karena potensi infeksi rahim yang mengancam nyawa ibu sesudahnya. Hal tersebut diatur di dalam undang-undang. Persiapan yang baik dengan alat-alat yang steril pun perlu dilakukan untuk mencegah komplikasi lanjutan lainnya sehingga dokter menempati posisi penting dalam memastikan keamanan aborsi tersebut. Sekalipun janin memang tidak dapat diselamatkan pula di luar kandungan, biarlah Tuhan yang memutuskan kapan nyawa tersebut dipanggil kembali ke hadiratNya setelah kita mengusahakan yang terbaik bagi janin tersebut.\r\n\r\nSebagai penutup, melanjutkan kehamilan tetap memerlukan persiapan yang baik dari sisi medis agar janin masih dapat ditolong. Tidak semua janin akan hidup dengan penderitaan dalam kecacatannya. Aborsi sendiri bukanlah suatu tindakan yang mudah untuk dilakukan dan keamanannya belum terjamin seratus persen. Konsultasi lebih lanjut dengan dokter tetap diperlukan untuk mendapatkan keputusan yang tepat sekaligus persiapan penyelamatan janin demi kualitas hidupnya kelak. Pertimbangan dalam menghadapi kecacatan janin tidak serta-merta didasarkan atas indikasi medis, tetapi juga atas nilai-nilai budaya, norma sosial, dan keluhuran nilai agama yang dianut pasien beserta keluarganya.\r\n\r\nSumber:\r\n

    \r\n
  1. Cunningham FG, et al. Williams obstetric. Edisi ke-23. 2010.
  2. \r\n

  3. Manik HT, et al. Asuhan Pasca Keguguran. Edisi ke-2. Juli 2002.
  4. \r\n

  5. Pelayanan obstetric dan neonatal emergensi dasar (PONED). Juli 2008.
  6. \r\n

\r\nTeks: Naldo Sofian

Komentar

  • (will not be published)