(Image courtesy of imagerymajestic / freedigitalphotos.net)
\r\nSeringkali kita temui, ada anak yang tetap menggunakan tangisan, teriakan, dan tindakan agresif sebagai strategi untuk mendapatkan keinginannya.\r\n
Kenali Kebutuhan Si Kecil
\r\nSeorang bayi terlahir dalam kondisi tergantung pada orang lain untuk memenuhi segala kebutuhannya, seperti makanan, kehangatan, dan kasih sayang. Namun, mereka belum mampu mengutarakan keinginan dan kebutuhan mereka dengan kata-kata yang dapat dimengerti oleh orang-orang di sekitarnya. Bentuk komunikasi yang digunakan oleh bayi adalah dengan menangis sebagai tanda bahwa ia membutuhkan sesuatu atau merasa tidak nyaman. Menangis merupakan cara paling ampuh dan terkadang merupakan satu-satunya cara yang dilakukan bayi untuk mengkomunikasikan kebutuhan mereka. Hampir semua orang dewasa di seluruh dunia akan cepat merespons bayi yang menangis (Broude, 1995 dalam Papalia et.al., 2001).\r\n\r\nDengan bertambahnya usia, semakin meningkat pula kemampuan anak untuk berkomunikasi secara verbal, menyampaikan keinginannya atau menceritakan pengalamannya dalam bentuk kata-kata. Menurut Encyclopedia of Children’s Health, perilaku tantrum ini dapat merupakan ekspresi dari rasa frustrasi anak karena ketidakmampuannya untuk mencapai target atau menyelesaikan aktivitas yang mereka lakukan atau usahakan. Selain itu, dapat pula merupakan ekspresi frustrasi karena mereka merasa tidak memiliki kendali atas hidup mereka. Di lain pihak, perilaku tantrum mungkin merupakan suatu usaha anak untuk mendapatkan perhatian dari orangtua atau pengasuhnya, atau usaha untuk memanipulasi situasi.\r\n\r\nMenangis, berteriak, dan melakukan gerakan tubuh yang dapat menyakiti dirinya, seperti melempar barang, menjatuhkan diri ke lantai, dan membenturkan kepala, tangan, atau kaki ke lantai sebagai ekspresi dari kemarahan dan frustrasinya adalah rangkaian peristiwa yang kita kenal sebagai ‘perilaku tantrum’ atau ‘temper tantrum’. Perilaku tantrum ini, kerap muncul pada anak-anak berusia 2-4 tahun, di mana mereka sudah mampu berkomunikasi dengan kata-kata, tetapi belum memiliki keterampilan berbahasa yang cukup untuk dapat mengekspresikan emosi atau pun dalam banyak situasi untuk membuat mereka dimengerti oleh orang lain. Dari segi kognitif, mereka masih berada pada tahap pre-operational, di mana ada beberapa cara berpikir mereka yang belum cukup logis. Mereka masih menunjukkan egosentrisme, yaitu ketidakmampuan anak untuk melibatkan atau mempertimbangkan sudut pandang orang lain. Mereka menggunakan kata-kata hanya untuk menuntut apa yang mereka inginkan, belum mampu bernegosiasi dengan orang lain.\r\n\r\nPada usia ini pula, anak-anak juga sedang berada pada tahap autonomy, di mana mereka sedang mengembangkan kemandirian dan otoritas mereka, sehingga kerap kali terjadi, mereka berusaha melakukan sendiri kegiatan-kegiatan mereka. Mereka menolak dibantu dan diajari oleh orang lain. Sebaliknya, mereka berusaha mengendalikan lingkungannya, memiliki ide, ketertarikan minat, dan ingin mengambil keputusan sendiri. Tak jarang hal ini berbenturan dengan aturan yang berlaku di lingkungan sosialnya. Sepertinya ada kecenderungan mereka semaunya, memaksakan kehendak, atau bahkan melanggar aturan yang ada (testing the limit). Di sinilah perlunya konsistensi dari penerapan aturan yang ada, sehingga ada garis yang jelas bagi mereka, mengenai hal-hal yang baik dan buruk, hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukannya.\r\n\r\nBerikut ini adalah beberapa tips khusus dari Psikolog Anak, Ami Puspasari, mengenai bagaimana menghadapi perilaku anak temper tantrum.\r\n
- \r\n
- Berikan reward. Perilaku tantrum dapat berlanjut ketika anak memperoleh reward atau penguatan dari perilakunya tersebut, misalnya mendapatkan keinginannya (orang di sekitarnya akan cenderung memberikan yang diinginkannya) atau memanipulasi situasi yang membuatnya memperoleh apa yang diinginkannya (ketika tantrum dilakukan di area umum yang membuat orangtua malu, sehingga memberikan apa yang diminta anak agar ia segera diam). Untuk itu, disarankan agar orangtua tetap konsisten terhadap anaknya.
- Ketegasan dan konsistensi orang tua. Konsistensi sebaiknya dilakukan oleh kedua belah pihak orangtua. Bila ada orang lain yang terlibat dalam pengasuhan anak, misalnya nanny atau kakek-nenek, ada baiknya mereka dilibatkan juga untuk melakukan pola pengasuhan yang sama. Untuk itu, orangtua disarankan untuk membuat kesepakatan bersama, apa yang boleh dan tidak boleh bagi anak. Jangan sampai ada perbedaan pendapat, di mana ayah mengatakan boleh, sedangkan ibu tidak boleh, misalnya. Jika hal tersebut terjadi, akan menimbulkan kebingungan pada anak, dan sulit baginya untuk mempelajari aturan karena adanya ketidakkonsistenan tersebut. Bisa jadi hal tersebut dimanfaatkan anak untuk memanipulasi situasi, sehingga ia selalu mendapatkan keinginannya.
- Tepati janji ke anak. Jangan menunggu anak menangis ketika akan memberikan sesuatu, karena jika demikian, anak akan belajar menggunakan tangisan sebagai alat atau senjata untuk mencapai tujuannya. Jika anak meminta sesuatu dan orangtua mengijinkan, sebaiknya segera diberikan. Jika dari awal orangtua mengatakan tidak, maka sebaiknya tetap tidak diberikan (barang ataupun ijin, misalnya) sekalipun anak menangis. Jika ada jangka waktu tertentu sesuai persyaratan (boleh main setelah selesai makan siang, misalnya), maka sebaiknya orangtua memenuhi janjinya. Dengan selalu menepati janji, anak akan belajar bahwa orangtuanya konsisten dan anak akan semakin mengembangkan rasa percayanya (trust) kepada orangtuanya.
- Ajarkan anak berkomunikasi. Mengajarkan anak berkomunikasi dengan cara yang baik dan benar, bukan dengan menangis atau merengek. Ajarkan kepada anak untuk menggunakan kata-kata yang menunjukkan kesopanan, seperti ‘Tolong’, ‘please’, ‘permisi’, ‘terima kasih’, dan ‘maaf’.
- Jangan pakai kekerasan. Hindari mengingatkan atau memarahi anak dengan cara meneriaki atau memukul (dengan cara kekerasan), karena hal tersebut justru akan memberikan contoh kepada anak, bahwa ketika marah atau tidak suka terhadap sesuatu, seseorang dapat berteriak atau memukul untuk mendapatkan keinginannya. Berikan waktu baginya untuk menenangkan diri (time out), atau berikan pelukan sejenak. Setelah anak tenang, lakukan diskusi membahas kejadian yang baru saja dialami. Melalui diskusi ini, anak dapat mempelajari tentang konteks sosial, hubungan sebab akibat (berkaitan dengan peraturan dan konsekuensi), meregulasi emosi, dan meningkatkan keterampilan verbalnya (mengungkapkan pikiran dan perasaan dengan kata-kata).
- Negosiasi dengan anak. Buat perjanjian atau prosedur sebelum melakukan sesuatu, terutama jika kegiatan akan dilakukan di tempat umum. Ada kecenderungan orangtua akhirnya memenuhi yang diminta anaknya, untuk menghindari rasa malu karena anaknya menangis atau berguling-gulingan di tempat umum. Sebelum pergi ke mal atau ke tempat permainan anak-anak, diskusikan terlebih dahulu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak di sana, beserta konsekuensinya. Sebagai contoh, acara ke mal hari itu hanya untuk makan malam dan menonton bersama, belum waktunya bagi anak untuk mendapatkan haknya membeli mainan. Jika anak menampilkan tantrum, orangtua dapat memberikan konsekuensi untuk menghilangkan acara menonton bersama dan langsung pulang. Diperlukan kebesaran hati orangtua untuk mengorbankan hal kecil (dalam kasus ini, mengorbankan harga tiket menonton yang sudah dibayar atau mengorbankan kesenangan orangtua untuk melakukan window shopping, misalnya), demi terciptanya perilaku yang lebih baik pada anak ke depannya.
\r\n
\r\n
\r\n
\r\n
\r\n
\r\n
\r\nNara Sumber: Ami Puspasari, Psikolog.