Mengelola kemarahan (Part 1)

Mengelola Kemarahan Part 1\r\nSetiap manusia pasti pernah merasa marah, bukan berarti kita tidak boleh marah dalam hidup ini, tetapi bagaimana mengelola kemarahan dengan sehat. Berikut ini adalah wawancara tim Dokita dengan Henny E. Wirawan, M. Hum., QIA, Psikolog, Psikoterapis.\r\n\r\nArtikel ini adalah bagian pertama dari artikel mengelola kemarahan. Bagian keduanya dapat dibaca disini.\r\n

Seberapa Penting Kita Harus Mengelola Kemarahan?

\r\nTentu saja sangat penting. Ketimbang kita menahan kemarahan, yang berpotensi menimbulkan penyakit pada tubuh kita, atau mengeluarkan kemarahan kita tanpa terkendali yang berpotensi merusak diri sendiri, orang lain, atau lingkungan fisik kita, tentu saja mengelola kemarahan adalah alternatif yang paling cerdas.\r\n\r\nKemarahan tidak untuk disimpan, tetapi tidak juga untuk diekspresikan secara meledak-ledak. Dalam keadaan sangat marah, seseorang akan sangat sukar mengendalikan kosa kata yang dikeluarkan, pikirannya pun cenderung negatif, dan tindakannya berpotensi membahayakan orang lain, benda, maupun dirinya sendiri. Sekali lagi, karena itu pilihan yang paling tepat adalah mengelola kemarahan, menyalurkan kemarahan dengan cara yang sehat. Dengan demikian, kita tetap dapat mengekspresikan kemarahan tetapi dengan cara-cara yang lebih elegan.\r\n

Bagaimana Cara Mengelola Kemarahan yang Baik, dan Aksi Konkritnya Seperti Apa?

\r\nPertama-tama seseorang yang sedang marah perlu mengupayakan untuk tidak berkata-kata dulu dalam keadaan sangat marah. Mungkin lebih baik keluar ruangan sebentar untuk menenangkan diri untuk minum air tawar, mengatur pernapasan, atau dengan teknik relaksasi lainnya.\r\n\r\nDalam keadaan lebih tenang, akan lebih mudah mencerna persoalan, sehingga dapat dijawablah beberapa pertanyaan berikut:\r\n

    \r\n
  1. Apa penyebab saya marah?
  2. \r\n

  3. Mengapa hal tersebut mengganggu saya?
  4. \r\n

  5. Seberapa besar dampak peristiwa ini bagi saya sehingga penting bagi saya untuk marah?
  6. \r\n

  7. Di mana peran saya dalam peristiwa tersebut, apakah saya ada andil juga yang menyebabkan permasalahan ini terjadi?
  8. \r\n

  9. Apakah tepat jika saya marah dan kalimat apa yang sepantasnya saya ucapkan?
  10. \r\n

\r\nKetika pemikiran-pemikiran tersebut sudah terjawab, dan kita dengan lebih jernih melihat persoalan, mungkin yang perlu ditanyakan lebih lanjut adalah: bagaimana caranya saya (dan orang tersebut) menyelesaikan permasalahan ini? Apakah cukup dengan mendiskusikannya tanpa saling menyalahkan? Ataukah harus ada tindakan perbaikan, apakah tindakan perbaikannya? Seberapa lama perbaikan tersebut perlu dilakukan, di mana, dan dengan siapa?\r\n

Bagaimana cara pelampiasan kemarahan yang tidak berlebihan?

\r\nUntuk beberapa orang, pasti ada yang merasa kesulitan dalam mengelola kemarahan dan pada akhirnya mengeluarkan amarahnya tersebut. Kira-kira apakah ada cara pelampiasan–dimana tetap melampiaskan kemarahan–tapi tetap sehat dan tidak berlebihan? Contoh-contoh konkritnya seperti apa?\r\n\r\nBisa dengan beberapa cara, misalnya:\r\n

    \r\n
  • berteriak di tempat yang sunyi,
  • \r\n

  • memukul bantal untuk menyalurkan agresi (atau sandzaak bila ada),
  • \r\n

  • atau membuat tulisan tentang penyebab kemarahan. Di dalam tulisan juga dapat dilontarkan kata-kata yang seyogianya ditujukan kepada orang yang menjadi obyek kemarahan, tetapi setelah selesai menulis sobek saja tulisan tersebut, tidak perlu diberikan kepada yang bersangkutan. Ingat sekali lagi, tujuan menulis adalah untuk mengekspresikan kemarahan.
  • \r\n

  • Cara lain adalah dengan melukis atau bermain musik, atau dengan berolahraga, sehingga energi kemarahan dapat tersalurkan.
  • \r\n

Komentar

  • (will not be published)